Burung Kenari (sebuah cerita pendek)

Author: Unknown /

Di dalam sangkar berwarna hijau terang itu, seekor burung kenari sedang menikmati secangkir air jernih yang entah diambil darimana oleh sang pemilik. Dengan nikmat penuh bersyukur ia teguk air itu. Siang itu panas. Terik matahari mulai berada tepat di atas atap, namun burung kenari tetap berada di dalam bayangan. Sangkar ditaruh di tempat yang teduh. Keteduhan ini ternyata tak begitu saja mebuat sang burung terlelap dalam tidur siang. Ia masih meminum air itu, teguk demi teguk. “Oh, cepatlah berakhir terik siang, dan biarkan aku menikmati temaram senja” mungkin itu yang ada di hati snag burung kenari.

Sore hari telah tiba. Perlahan matahari memainkan kaleidoskop senja yang unik namun tetap menentramkan, dengan gradasi kuning-jingga yang melukis langit sore ini. Garis-garis cahaya itu tampak seperti alunan nada dalam tempo pelan, syahdu dialunkan sore ini. Hembusan angin sesekali menjadi sang konduktor yang sedang mengibas-kibaskan tongkatnya. Desir pepohonan menjadi suara sekawanan pemain triangle, dengan komposisi tertentu memberikan warna tersendiri ke dalam barisan awan yang tampak seperti penonton yang terpukau. Dan di sana, di pojok rumah bercat putih dengan garis-garis hitam sebagai pagarnya, sang burung kenari sedang bertengger di dahan buatan pemilik, di dalam sangkar, hanya diam memberikan tatapan kosong kepada langit luas. Rindu untuk kembali menggapainya.

Burung kenari tetap tak bisa menutup kedua matanya, padahal bintang-bintang sudah bermain mata dengannya sedari tadi. Dalam khayalnya, masih terngiang riuh-rendah kawanan burung gereja yang memeluk senja, mencari batang-batang pohon atau celah genteng untuk beristirahat dan bersama saat malam tiba. Mereka bersama, dan sang burung kenari sendiri. Burung kenari masih merindukan keberadaan dirinya ketika masih bersama kawanan, di dalam sangkar yang lebih besar, di suatu tempat yang penuh dengan burung-burung lain. Namun tak mengapa, saat itu burung kenari masih bersama dengan kawanannya. Bernyanyi di pagi hari, kemudian saling kejar-kejaran di dalam kandang penuh sesak itu. Ia tetap bahagia. Namun tidak malam ini. Sepi yang burung kenari rasakan sudah terlalu lama. Tak dapat ia mendengar cicit burung kenari kawanannya lagi. Hany selentingan kawanan burnug gereja, dan burung hantu penyendiri di malam hari. Burung kenari memimpikan saat-saat bersama dengan kawanannya, hingga akhirnya burung kenari tertidur, lelah berkhayal.

Malam dan rembulan sudah mulai pamit ketika ayam-ayam tak tahu diri itu berkokok membangunkan seisi dunia. Matahari dengan enggan mulai beranjak dari peraduan, memberikan sinarnya sedikit demi sedikit kepada manusia untuk mulai bekerja. Saat itu tak lebih dari pukul tujuh pagi. Sang pemilik, setelah menyeduh kopi, lantas menyiapkan biji-bijian merek terpercaya yang ia beli kemarin saat ke pasar burung. Lantas ia berjalan pelan menuju kandang berwarna hijau terang itu, untuk menyapa sang burung kenari. Namun ia tak melihat burung kenari seperti biasanya. Burung kenari tidak lagi bertengger di dahan pohon buatannya yang ia ambil dari pohon di depan rumah. Ia panik. Ketika semua pikirannya dan pertanyaan akan kemungkinan hilangnya burung kenari, sesuatu di dasar kandang menjawab semua. Di sana, di dasar kandang berwarna hijau itu, burung kenari telah terbujur kaku dengan sayapnya mendekap erat badan mungilnya. Burung kenari telah pergi, terbawa mimpi untuk terbang dengan kawanannya, kembali menyambut pagi dengan kicauan riuh rendahnya. Akhirnya, burung kenari mendapatkan kebahagiannya, walau tak lagi nyata. Burung kenari telah pergi.

 

Aji

26 Oktober 2009

12:29 AM

absurditas dalam menulis isi hati

Author: Unknown /

kemarin, saat dahulu gairah kehidupanku menggebu meniadakan keadaan, aku sempat dalam satu kondisi dua situasi terlena dengan apa yang mereka perbincangkan sebagai isi hati. namun ternyata (tanpa maksud apa-apa!) bukan aku saja yang dapat membohongi diri sendiri. oh ternyata!

ya ini adalah paragraf nomer sekian sekian garis miring sekian sekian dari kehidupanku. tidak, ini bukan paragraf deskriptif atau naratif. bukan juga celoteh penuh argumen sana-sini, saling tipu kanan-kiri, namun yang didustai adalah diri sendiri. tidak, namun paragraf ini lebih menjelaskan mengapa saat matahari tenggelam dalam kegelapan yang paling dalam, aku mulai untuk menulis dalam damai. tidak bernarasi, aku sudah katakan tadi! diamlah sejenak tanpa celotehan dalam hati.

ah, dunia! mengapa terkadang begitu fana namun di satu sisi menggiurkan bak opium baru dikirim! terkadang mengiginkan, namun tak sanggup menghadapi konsekuensi. akhirnya berbalik dan melihat dengan mata tertutup (sedikit sekali terbuka, janji!), curi-curi pandang. ah, terlalu menggiurkan! akhirnya pak polisi menciduk opium tadi, lalu dihisapnya pelan-pelan. sang opium (walaupun ternyata aku tak sebegitu suka dengan opium, karena hanya janji-janjinya dan euforia sesaatnya yang nikmat!) pun merasa senang namun tetap melambaikan tangannya. kuacungkan kelingkingku, “makan ini upil hidung ku!”

kemudian aku kembali kepada absurditas dalam menulisku. sebentar, biar kuseduh secangkir kopi kembali, hal yang lebih adiktif daripada tadi. ternyata hujan di luar. kan kubuka pintu ini, biarkan hawa hujan itu membawa harum tanah. dan ku corat-coret catatanku. dan besok hidupku masih seperti ini : sendiri di teras dengan rokok sebagai kekasihku.

indah!

nikmat!

ternyata, tak tergantikan rasanya!

 

 ajie 

23 Oktober 2009

2:17

bila hidup ini tak beriak, biarkan aku menempuh durja dewa

Author: Unknown /

stagnansi dan antipati

cukuplah hidup dibuat menderita akibat tak hadirnya senja

dan menikmati secangkir kopi tak lagi nikmat

setiap saat

 

tak bisakah manusia menjadi apa adanya?

menjadi jujur saat berdialog dengan hati

dengan perona merah di setiap suasana

percayakah mereka akan terlihat cantik seperti itu?


pendewaan dunia, hiperrealitas

AKU AKAN KELUAR DARI SINI!

tidak akan ada lagi fakta bodoh rasional yang radikal

aku akan hidup dalam surrealisku

teralienasi di dalam utopiaku

biarlah itu jadi pilihanku

ketika dunia berada dalam stagnansi nan hiperbola tanpa aksi

 

 ajie 

23 Oktober 2009

1:58 AM