Suatu dini hari yang telah lalu, saat kelabu yang dalam hitungan hari masih bergantung malas di langit
Suatu ketika ketika semua terlelap dan sayup-sayup panggilan kemenangan memenuhi udara,ketika ilusi pagi dan sang rembulan yang bermain mata bertemu
Saat rongga kosong di ruang dada terbentuk, saat semua napas tercerabut, sekali hentak
Gemuruh petir yang menggelegar berbisik, ratusan bahkan ribuan kali, menahan kelopak mata yang telah lelah untuk tidak terlelap
Dan kemudian, waktu menjadi tiada. Tidak ada kekal atau fana. Tidak ada air mata atau tawa. Waktu menjadi tidak terdefinisikan. Hampa?
"“Ilusi?” tanyaku. “Mimpikah?”
Absurd dalam realita. Benarkah ini realitas? atau sekadar entitas yang bermain-main menjadi Tuhan dan menulis sendiri aturan semesta sekehendaknya?
Karena saat kulihat kembali, saat kutinjau kembali, saat kembali kupahami dengan tulisan-tulisan ‘masa lalu’ dan ‘yang akan datang’, ada ‘saat ini ‘yang menghubungkan. Ada sesuatu yang layak dipertahankan oleh kelam senja dan kelabu malam agar matahari dapat terbit di ufuk timur esok hari.
Dan di esok hari tersebut adalah apa yang menanti, terbingkai dalam satu diorama yang sedari dulu telah menjadi mimpiku. Alasanku.
“Diorama Mimpi, Alasan, dan Tujuan”, mengapa harus kutinggalkan?
Bandung, 8 April 2012
13.53
Ajie